Uncategorized

Tren Belanja Subsidi dan Kompensasi BBM dalam 5 Tahun Terakhir

AGENDA memberikan momentum kepada para partai politik untuk menebar janji-janji populis guna menggaet suara dari para calon pemilih dalam Pemilu 2024. Contoh, menggratiskan BBM yang sempat viral di media massa. Janji politik tersebut dilontarkan oleh Wakil Sekjen PKB Syaiful Huda ketika menghadiri suatu acara yang diselenggarakan di Jawa Barat. Kala itu, Syaiful menyebut bila Gus Muhaimin terpilih sebagai presiden maka subsidi BBM akan diperbesar. “Kalau Gus Muhaimin dan PKB menang, semua yang punya sepeda motor, BBM yang kita subsidi, gratis, tanpa biaya. Siapa di sini punya sepeda motor? Tahun 2024, PKB menang, Gus Muhaimin presiden, disubsidi serendah-rendahnya harga subsidi BBM,” ujarnya. Terlepas dari janji itu memungkinkan atau tidak, pemerintah toh selama ini telah mengalokasikan anggaran untuk menyubsidi BBM. Dalam 5 tahun terakhir ini, realisasi subsidi dan kompensasi BBM mengalami tren yang cenderung meningkat. Pada 2018 hingga 2022, realisasi anggaran yang dialokasikan untuk subsidi dan kompensasi BBM relatif masih rendah, yaitu hanya senilai Rp38,9 triliun pada 2018 dan naik menjadi Rp46,2 triliun pada 2021. Namun, dana subsidi dan kompensasi BBM pada 2022 melonjak menjadi Rp322,4 triliun atau 14,14% dari total belanja pemerintah pusat. Lonjakan dana subsidi itu disebabkan adanya kenaikan harga minyak global yang sangat tinggi. Sebelum harga eceran Pertalite dinaikkan dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter, pemerintah tercatat harus menanggung selisih antara harga eceran dan harga keekonomian senilai Rp6.800 per liter. Perlu dicatat, nominal subsidi dan kompensasi senilai Rp322,4 triliun itu belum memperhitungkan subsidi dan kompensasi LPG dan listrik. Bila turut diperhitungkan, beban subsidi dan kompensasi energi pada APBN 2022 mencapai Rp551,2 triliun atau 24,1%. Merujuk pada Nota Keuangan RAPBN 2024, ruang fiskal yang dimiliki pemerintah makin menyempit sempit. Kontribusi mandatory spending terhadap total belanja negara sempat menurun dari 78,85% pada 2019 menjadi hanya sebesar 69,6% pada 2022. Namun, mandatory spending diperkirakan akan naik menjadi 72,9% dari total belanja negara pada tahun ini. Pada tahun depan, mandatory spending diperkirakan mencapai 73,3% dari total belanja negara. (rig)

Tren Belanja Subsidi dan Kompensasi BBM dalam 5 Tahun Terakhir Read More »

Perlunya Dokumentasi ‘Medical Check-up’ (TCF) Pajak Perusahaan

KEMENTERIAN Keuangan (Kemenkeu) bersama Panja A Badan Anggaran (Banggar) DPR menyepakati target penerimaan pajak pada 2024 senilai Rp 1.988,9 triliun. Dengan proyeksi ekonomi 2024 tumbuh 5,2%, rasio perpajakan pada tahun depan diyakini akan lebih tinggi ketimbang tahun ini. Untuk mengamankan target tersebut, ada sejumlah kebijakan pajak yang akan diterapkan pada 2024. Salah satu kebijakan tersebut adalah penyusunan daftar sasaran prioritas pengamanan penerimaan pajak (DSP4). Orang kaya, wajib pajak grup, transaksi afiliasi, dan ekonomi digital menjadi prioritas pengawasan. Selain itu, implementasi coretax administration system (CTAS) atau pembaruan sistem inti administrasi pajak (SIAP) juga diharapkan mampu mendukung upaya untuk merealisasikan target penerimaan pajak pada tahun depan. Dalam konteks pembaruan SIAP, otoritas berencana mulai mengimplementasikan taxpayer account management (TAM) pada 1 Mei 2024. TAM berisi data-data wajib pajak, seperti pembayaran, bukti transfer, permohonan keberatan, dan lainnya. Melalui TAM, wajib pajak juga bisa mengecek kembali kesesuaian antara pembayaran pajak dan pencatatannya. Dengan demikian, tercipta transparansi data antara wajib pajak dan otoritas yang pada akhirnya berpengaruh pada ketepatan perlakuan (treatment). Ketepatan perlakuan berdasarkan pada profil risiko wajib pajak juga akan terjadi dalam proses bisnis pemeriksaan. Terlebih, pemeriksaan menjadi salah satu dari 21 proses bisnis yang akan berubah dengan adanya pembaruan SIAP. Dalam berbagai pemberitaan di media massa, termasuk DDTCNews, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan proses bisnis yang berjalan ke depan akan menggunakan pendekatan kepatuhan berbasis risiko (risk-based compliance approach). Artinya, tidak setiap wajib pajak menjadi sasaran pemeriksaan. Poin penting yang dapat dipetik dari program dan arah kebijakan untuk mencapai target penerimaan pajak pada 2024 tersebut adalah makin mendesaknya pemahaman wajib pajak atas posisinya di mata otoritas pajak saat ini. Artinya, wajib pajak masuk kriteria berisiko tinggi atau berisiko rendah. Dengan adanya pengelompokan berdasarkan pada profil risiko tersebut, wajib pajak juga bisa memastikan masuk atau tidaknya sebagai sasaran pengawasan dan/atau pemeriksaan. Untuk itu, layaknya medical check-up terkait dengan kesehatan tubuh, wajib pajak juga perlu melakukannya terhadap posisi pajak perusahaan. Medical check-up dalam konteks pajak tersebut dikenal luas dengan istilah Tax Control Framework (TCF). Mitigasi Risiko Pajak MENURUT OECD (2016), TCF merupakan bagian dari sistem kontrol internal perusahaan untuk memastikan keakuratan serta kelengkapan laporan pajak dan pengungkapan informasi yang dilakukan wajib pajak. Dengan kata lain, TCF sangat diperlukan agar internal wajib pajak dapat meminimalkan kekeliruan dan memitigasi risiko-risiko pajak. Penerapan TCF dapat bermanfaat bagi wajib pajak dalam mempertanggungjawabkan, baik strategi maupun laporan pajak yang dihasilkan (van der Eenden dan Bronzewska, 2014). Tujuan utama dari TCF adalah untuk memberi jaminan yang dapat diverifikasi bahwa risiko pajak tidak akan timbul karena kurangnya kontrol atau ketidakpahaman adanya risiko di internal wajib pajak. Dengan TCF, wajib pajak dapat membangun fungsi pajak dalam organisasi yang efektif, efisien, dan transparan (Sharvari Kale, 2021) Dengan adanya TCF, wajib pajak dapat menunjukkan bahwa dia memegang kontrol atas urusan pajaknya. Dengan demikian, informasi yang diberikan kepada otoritas pajak berguna dalam pengelolaan risiko pajak yang dijalankan oleh pemerintah (compliance risk management/CRM). Di Indonesia sendiri, pada saat ini, CRM diatur dalam SE-39/PJ/2021 yang merupakan proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak. Dalam penerapan CRM, DJP baru hanya mengandalkan data dari laporan wajib pajak (seperti SPT) serta data dari skema pertukaran dengan instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP). Oleh karena itu, hadirnya TCF dapat membantu otoritas pajak untuk memantau secara lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran sehubungan dengan pelaksanaan hak serta pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan pada aplikasi CRM. Tentunya, hal tersebut dapat menjadi peluang bagi wajib pajak untuk mendapatkan predikat percaya dari DJP. Saat wajib pajak dapat makin ‘dipercaya’ oleh otoritas pajak maka peluang terjadinya sengketa pajak makin kecil (Tom Toryanik, 2021). Terlebih lagi, sesuai dengan SE-05/PJ/2022 yang diterbitkan pada 10 Februari 2022, direktur jenderal pajak mengatur proses bisnis pengawasan kepatuhan wajib pajak dengan menggunakan pendekatan end-to-end. Pendekatan end-to-end terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, tindak lanjut, serta pemantauan dan evaluasi pengawasan Tujuannya adalah untuk memberikan suatu pendekatan yang komprehensif dalam rangka mewujudkan kepatuhan berkelanjutan dari wajib pajak (kepatuhan sukarela) atas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pada akhirnya, hal tersebut dapat mendukung tercapainya penerimaan pajak yang optimal. Kepatuhan berkelanjutan yang berlandaskan kepatuhan sukarela (cooperative compliance) wajib pajak sendiri memerlukan setidaknya 3 komponen utama. Pertama, kesepahaman antara otoritas dan wajib pajak tentang syarat dan ketentuan cooperative compliance. Kedua, penilaian terhadap risiko perpajakan dari wajib pajak yang akan mengimplementasikan cooperative compliance. Ketiga, real-time working yang memungkinkan pengawasan secara terus-menerus otoritas pajak terhadap wajib pajak (Larsen dan Oats, 2019). Kepatuhan Pajak yang Berkelanjutan ADANYA CTAS atau SIAP, program CRM dan penyusunan daftar prioritas, serta pendekatan end-to-end DJP terhadap kepatuhan wajib pajak yang berkelanjutan membuat tugas wajib pajak makin berat dalam pemberian tanggapan atas proses bisnis serta penyusunan sistem dan kontrol yang dimiliki untuk mengelola risiko. Oleh karena itu, kebutuhan akan dokumentasi TCF sebagai media pembuktian kepada otoritas pajak, bahwa wajib pajak secara transparan bersedia berkolaborasi dengan sukarela (comply cooperatively), nyatanya makin mendesak. Pada akhirnya, suatu dokumentasi TCF yang well-established memungkinkan wajib pajak untuk memastikan bahwa setiap kewajiban perpajakan dan aspek administrasi dipenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketika suatu dokumentasi TCF diselaraskan dengan rencana bisnis dan identitas perusahaan, setiap pilihan serta peluang dapat disertai dengan perhitungan risiko dan rencana mitigasi untuk memperkuat kepastian pajak. Sebagai contoh, TCF memungkinkan wajib pajak untuk mengidentifikasi perubahan yang relevan terhadap suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari sini, wajib pajak dapat secara objektif mengungkap semua pengaturan bisnis (business arrangements) yang dapat memengaruhi posisi pajak wajib pajak. Setelah itu, keputusan tepat dapat diambil terkait dengan langkah yang harus dilakukan serta cara pengalokasian sumber daya secara efisien. Otoritas pajak nantinya dapat diyakinkan bahwa semua kewajiban pajak (baik formal maupun material) wajib pajak telah dipenuhi disertai dengan risiko pajak yang mungkin terjadi. Pada akhirnya, TCF memungkinkan terjadinya berbagai macam transaksi yang dapat membantu wajib pajak untuk terlibat dalam program kepatuhan yang kooperatif. Dengan demikian, kolaborasi saling percaya antara wajib pajak dan otoritas pajak dapat terbangun demi terciptanya kepastian akan posisi pajak dari wajib pajak.

Perlunya Dokumentasi ‘Medical Check-up’ (TCF) Pajak Perusahaan Read More »

Makin Banyak Prepopulated Data, DJP Sebut Administrasi Pajak Bagus

JAKARTA, DDTCNews – Keberadaan skema prepopulated data dinilai sebagai salah satu indikator bagus atau tidaknya administrasi pajak. Direktur Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak (DJP) Imam Arifin mengatakan skema prepopulated bergantung pada kualitas data yang ada. Dalam sistem self-assessment, kualitas data akan dipengaruhi interoperabilitas DJP dengan pihak lain. “Makin banyak itu [skema prepopulated data] berarti administrasinya makin bagus ya,” ujar Imam dalam International Tax Policy Dialogue, dikutip pada Rabu (27/9/2023). Baca Juga: Pelaksanaan Penagihan terhadap Pengurus dari Persekutuan Imam mengatakan otoritas selalu mendorong adanya perbaikan interoperabilitas. Implementasi sistem inti administrasi perpajakan (SIAP) atau coretax administration system (CTAS), menurutnya, akan berdampak positif pada peningkatan kualitas interoperabilitas. Contoh skema prepopulated data, salah satunya dapat dilihat saat wajib pajak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT). Bagi wajib pajak yang selama ini menjadi pekerja atau karyawan, data pemotongan pajak atas gaji sudah bisa terekam dalam sistem. “Pemotongan [pajak] oleh pemberi kerja itu akan masuk datanya di [Ditjen] Pajak, sehingga kalau kita melaporkan SPT, begitu ngetik NPWP –yang sama dengan NIK—akan terklarifikasi. Oh, kerja di sini, gajinya [berapa]. Itu namanya prepopulated,” jelas Imam. Baca Juga: Hitung PPh Final UMKM, Omzet dari Cabang Harus Dimasukkan Bila Ada Contoh lain ketika ada pengusaha melakukan ekspor-impor. Data yang terekam oleh Ditjen Bea dan Cukai (DJB) terkait dengan pemberitahuan ekspor atau impor barang juga akan masuk ke DJP. Hal ini bisa langsung berhubungan dengan pelaporan faktur PPN. “Makin interoperabilitas kita, data makin bagus, [sehingga] prepopulated itu makin bagus,” imbuh Imam. (kaw)

Makin Banyak Prepopulated Data, DJP Sebut Administrasi Pajak Bagus Read More »

Kebijakan PPN untuk Mendukung Industri Kereta Api, Apa Saja?

JAKARTA, DDTCNews – Indonesia merayakan Hari Kereta Api Nasional (HKAN) pada 28 September setiap tahunnya. Tanggal tersebut diperingati sebagai HKAN karena bertepatan dengan momen bersejarah, yakni ketika kereta api pertama kali beroperasi di Tanah Air pada 28 September 1867. Pentingnya peranan kereta api dalam mobilitas penumpang dan barang membuat historinya patut dikenang. Terlebih, apabila dibandingkan dengan moda transportasi lain, kereta api memiliki sejumlah keunggulan yang menjadikannya primadona bagi masyarakat. Keunggulan tersebut, di antaranya seperti daya angkut penumpang dan barang dalam jumlah besar, memiliki jalur tersendiri sehingga bebas dari kemacetan, dan memiliki kecepatan lebih konstan sehingga risiko keterlambatan kecil. Baca Juga: DJP Pede Penerimaan Pajak 2023 Bisa Capai Target Meski Ada Perlambatan Dengan keunggulan-keunggulan tersebut, sudah selayaknya pemerintah berperan aktif mengembangkan potensi kereta api dan meningkatkan peranannya sebagai penghubung antar-wilayah. Peran aktif pemerintah untuk mendukung moda kereta api, salah satunya, terlihat dari sisi kebijakan pajak. Dukungan melalui kebijakan pajak tersebut berkaitan dengan pemberian sejumlah fasilitas pajak. Salah satunya, pajak pertambahan nilai (PPN). Lantas, apa saja fasilitas PPN yang telah diberikan untuk mendukung moda kereta api? Baca Juga: Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Masih Tertekan Terhadap Dolar AS 1. Pembebasan PPN atas Jasa Angkutan Umum Kereta Api Sebagaimana jasa angkutan umum lainnya, jasa angkutan umum kereta api dibebaskan dari pengenaan PPN. Ketentuan ini diatur Dalam Pasal 16B ayat (1a) huruf j angka 7 UU PPh s.t.d.t.d UU HPP. Pada intinya, pasal tersebut menyatakan jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri, termasuk ke dalam jasa yang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak. Baca Juga: Setoran Pajak 2024 Ditarget Rp1.988,9 Triliun, DJP: Cukup Menantang Ketentuan lebih lanjut terkait hal tersebut diatur dalam Pasal 10 huruf h, Pasal 18 huruf a, Pasal 19 ayat (1) huruf b PMK 49/2022. Merujuk pada pasal-pasal tersebut, angkutan umum kereta api termasuk ke dalam jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Adapun PMK 49/2022 mengartikan jasa angkutan umum kereta api sebagai kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kereta api, dengan dipungut bayaran. Akan tetapi, pembebasan PPN tersebut tidak berlaku terhadap jasa angkutan menggunakan kereta api yang disewa atau yang dicarter. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (5) PMK 49/2022. Baca Juga: Kiriman Dokumen dari Luar Negeri Kena Bea Masuk? Simak Aturannya 2. PPN Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Kereta api, Suku Cadang, dan Jasa Perawatan Kereta Api Merujuk Pasal 25 ayat (1) PMK 49/2022, pemerintah tidak memungut PPN atas impor kereta api beserta suku cadangnya, yang diimpor oleh pihak lain yang ditunjuk oleh kementerian atau lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan atau keamanan negara. PPN juga tidak dipungut atas impor kereta api dan suku cadangnya, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan, dan prasarana perkeretaapian yang diimpor dan digunakan oleh badan usaha penyelenggara sarana dan/atau prasarana perkeretaapian umum.

Kebijakan PPN untuk Mendukung Industri Kereta Api, Apa Saja? Read More »

Bantu Petani, Tarif PBB Lahan Pertanian Diusulkan Hanya 0,02 Persen

BULELENG, DDTCNews – Pemkab Buleleng berencana untuk memberlakukan tarif pajak bumi dan bangunan (PBB) yang lebih ringan khusus atas lahan pertanian. Klausul keringanan PBB tersebut sedang digodok pihak pemkab bersama DPRD dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Raperda PDRD). “Semua lahan pertanian bisa asalkan lahannya masih produktif dan tidak dialihfungsikan,” katan Sekretaris Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Buleleng, Ni Made Susi Adnyani, dikutip pada Kamis (28/9/2023). Baca Juga: Hitung PPh Final UMKM, Omzet dari Cabang Harus Dimasukkan Bila Ada Secara umum, Raperda PDRD yang sedang disusun memuat 4 lapisan tarif PBB. Lahan pertanian dan ternak rencananya hanya akan dikenai PBB dengan tarif 0,02%, lebih rendah dibandingkan dengan tarif yang diusulkan atas objek PBB lainnya. Atas objek PBB yang tidak digunakan untuk pertanian dan ternak, tarif yang diusulkan sebesar 0,04% untuk lahan dengan NJOP maksimal Rp5 miliar, 0,07% untuk lahan dengan NJOP di atas Rp5 miliar hingga Rp50 miliar, dan 0,15% untuk lahan dengan NJOP di atas Rp50 miliar. Guna memastikan pemberian keringanan tarif PBB atas lahan pertanian dan ternak diberikan secara tepat sasaran, lanjut Susi, pemkab akan terus mengidentifikasi objek-objek PBB yang dialihfungsikan tersebut. Baca Juga: DJBC Sebut Cash Flow Perusahaan Rokok Bisa Longgar dengan Aturan Ini “Kalau ada alih fungsi kami bisa identifikasi lewat transaksi BPHTB. Ketika alih status maka tarifnya bisa berubah juga,” tuturnya seperti dilansir nusabali.com. Tarif PBB yang lebih murah khusus untuk petani dan peternak diharapkan menghambat kenaikan piutang pajak dan mengurangi beban wajib pajak dalam membayar PBB. (rig)

Bantu Petani, Tarif PBB Lahan Pertanian Diusulkan Hanya 0,02 Persen Read More »

Hitung PPh Final UMKM, Omzet dari Cabang Harus Dimasukkan Bila Ada

JAKARTA, DDTCNews – Wajib pajak dalam negeri, baik wajib pajak orang pribadi maupun badan, yang memiliki peredaran bruto atau omzet tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun pajak dapat dikenai tarif PPh final sebesar 0,5%. Omzet yang dimaksud merupakan jumlah omzet dalam 1 tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari cabang. “Dalam hal wajib pajak orang pribadi merupakan suamiistri [pisah harta atau memilih terpisah], peredaran bruto ditentukan berdasarkan penggabungan peredaran bruto usaha dari suami dan istri,” bunyi Pasal 58 ayat (2) PP 55/2022, dikutip pada Kamis (28/9/2023). Baca Juga: Bantu Petani, Tarif PBB Lahan Pertanian Diusulkan Hanya 0,02 Persen Contoh penentuan omzet, termasuk dari cabang: Tuan X merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat kegiatan usaha di beberapa pasar di wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan diketahui rincian peredaran usaha di tahun 2019 adalah sebagai berikut: Pasar A sebesar Rp1 miliar; Pasar B sebesar Rp2 miliar; Pasar C sebesar Rp2 miliar; Dengan demikian, Tuan X pada tahun 2020 tidak dapat dikenai PPh final karena peredaran bruto usaha Tuan X dari seluruh tempat usaha pada tahun 2019 melebihi Rp4,8 miliar. Baca Juga: DJBC Sebut Cash Flow Perusahaan Rokok Bisa Longgar dengan Aturan Ini Contoh penentuan omzet untuk suami-istri: Tuan G dan Nyonya H adalah sepasang suami isteri yang menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis. Pada Tahun Pajak 2019, Tuan G memiliki usaha toko kelontong dengan omzrt Rp4 miliar dan Nyonya H memiliki usaha salon dengan omzrt bruto Rp1 miliar.

Hitung PPh Final UMKM, Omzet dari Cabang Harus Dimasukkan Bila Ada Read More »

Setoran Pajak 2024 Ditarget Rp1.988,9 Triliun, DJP: Cukup Menantang

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati target penerimaan pajak senilai Rp1.988,87 triliun dalam UU APBN 2024, tumbuh 9,4% dari outlook penerimaan pajak 2023 sejumlah Rp1.818,2 triliun. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan DJP Ihsan Priyawibawa menilai target penerimaan pajak tersebut tergolong menantang. Meski demikian, ia menegaskan DJP berkomitmen untuk mencapai target yang telah ditetapkan. “Cukup menantang juga sebetulnya, apalagi kalau kita melihat kondisi 2023 yang pertumbuhannya di 5,9%,” katanya, dikutip pada Rabu (27/9/2023). Baca Juga: Hitung PPh Final UMKM, Omzet dari Cabang Harus Dimasukkan Bila Ada Ihsan menuturkan terdapat beberapa tantangan yang bakal dihadapi DJP dalam mengumpulkan pajak pascapandemi. Pertama, risiko berlanjutnya konflik geopolitik yang menjadi sumber ketidakpastian dalam jangka menengah-panjang. Peningkatan tensi geopolitik tersebut dinilai dapat menimbulkan fragmentasi, deglobalisasi, dan ancaman perang. Kedua, isu perubahan iklim yang perlu direspons dengan mendorong ekonomi hijau. Ketiga, digitalisasi yang dapat mempengaruhi ekonomi. Ihsan menyebut komposisi penerimaan pajak 2024 utamanya masih berasal dari pajak penghasilan (PPh). Setoran PPh diperkirakan mencapai Rp1.139,8 triliun, tumbuh 8,6% dari outlook 2023 senilai Rp1.049,5 triliun. Baca Juga: Bantu Petani, Tarif PBB Lahan Pertanian Diusulkan Hanya 0,02 Persen Kemudian, setoran PPN/PPnBM ditargetkan senilai Rp811,4 triliun, tumbuh 10,9% dari outlook 2023 senilai Rp731 triliun. Untuk pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak lainnya 2024, ditargetkan sama seperti outlook 2023, yaitu Rp37,7 triliun. Ihsan berharap penerimaan pajak 2024 mampu tumbuh tinggi sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan didukung kebijakan pajak yang optimal. Pertumbuhan pajak tersebut utamanya akan ditopang PPN/PPnBM yang tumbuh hingga 10,9%. “Mudah-mudahan tahun depan nanti juga, dengan apa yang kita alami tahun ini, insyaallah apa yang menjadi target kita bisa dipenuhi di 2024,” ujarnya. (rig)

Setoran Pajak 2024 Ditarget Rp1.988,9 Triliun, DJP: Cukup Menantang Read More »

DJP Bakal Tambah Jumlah WP yang Harus Laporkan Keuangan Berbasis XBRL

JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) akan memperluas uji coba atau piloting penyampaian laporan keuangan berbasis extensible business reporting language (XBRL). Direktur Transformasi Proses Bisnis DJP Imam Arifin mengatakan mayoritas wajib pajak yang ditunjuk untuk menyampaikan laporan keuangan berbasis XBRL pada 2022 adalah BUMN. Ke depan, DJP akan menunjuk wajib pajak lainnya. “Berdasarkan piloting itu, kami mencoba untuk mengimplementasikan agak lebih luas ya pada tahun ini. Jadi, kalau dulu ya, mungkin sebagian besar BUMN. Mulai tahun ini, kami coba perluas termasuk wajib pajak di luar basket itu,” katanya, Selasa (26/9/2023). Baca Juga: Hitung PPh Final UMKM, Omzet dari Cabang Harus Dimasukkan Bila Ada Menurut Imam, uji coba penyampaian laporan keuangan berbasis XBRL bakal menjadi landasan bagi DJP untuk meningkatkan kualitas pelayanan ke depan ketika coretax administration system resmi diimplementasikan. “Kalau nanti sudah pakai coretax, kemampuan kami akan makin baik. Kami sedang bangun platform baru yang datanya submitted precisely, sama dengan data di kami. Jadi, tidak miss. Tidak pakai PDF atau kertas. Kalau sama, itu tinggal integrasi data,” ujarnya. Bila sistem wajib pajak dan DJP terintegrasi, seluruh data wajib pajak juga akan terekam dalam sistem dan mempermudah petugas pajak dalam melakukan klarifikasi. Baca Juga: Bantu Petani, Tarif PBB Lahan Pertanian Diusulkan Hanya 0,02 Persen “Ke depan, hasil pertama dari pemanfaatan aplikasi ini adalah kami bisa lebih cepat memberikan warning. Ini menjadi salah satu paket dari penentuan profil wajib pajak. Kalau compliance tinggi, services kami full,” tutur Imam. Jika hasil profiling dimaksud menunjukkan wajib pajak memiliki risiko tinggi, DJP akan melakukan tindak lanjut melalui pengawasan ataupun pemeriksaan. Sebagai informasi, DJP menunjuk 37 wajib pajak untuk menyampaikan laporan keuangan berbasis XBRL seiring dengan diterbitkannya Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-159/PJ/2022. Baca Juga: DJBC Sebut Cash Flow Perusahaan Rokok Bisa Longgar dengan Aturan Ini Penyampaian laporan keuangan berbasis XBRL adalah kegiatan penyampaian laporan keuangan yang terstandar yang terdiri atas laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, dan laporan arus kas, serta catatan atas laporan keuangan, perhitungan rekonsiliasi fiskal, dan detail laba rugi berbasis XBRL. Sementara itu, XBRL adalah bahasa komunikasi elektronik yang secara universal digunakan untuk transmisi dan pertukaran informasi bisnis yang menyempurnakan proses persiapan, analisis, dan akurasi untuk berbagai pihak yang menyediakan dan menggunakan informasi bisnis. Cara kerja XBRL dengan memberikan tag terhadap setiap data yang ada di laporan keuangan sesuai dengan taksonomi XBRL yang digunakan. Tag ini dengan mudah dapat dibaca komputer sehingga data dapat diidentifikasi dalam bahasa apapun. Baca Juga: Penerimaan dari Denda Cukai Melonjak, DJBC: Efek Ultimum Remedium Dengan metode tersebut, pihak lain dapat dengan mudah memperoleh dan memproses data secara elektronik tanpa adanya kebutuhan untuk menerjemahkan dan meng-input ulang data. Kehadiran XBRL bakal menyamakan standar format pelaporan yang berbeda-beda. Penyeragaman ini pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan kecepatan pengolahan data serta mempercepat proses pengambilan keputusan. (rig)

DJP Bakal Tambah Jumlah WP yang Harus Laporkan Keuangan Berbasis XBRL Read More »

DJBC Sebut Cash Flow Perusahaan Rokok Bisa Longgar dengan Aturan Ini

JAKARTA, DDTCNews – Relaksasi penundaan pembayaran cukai hingga 90 hari bertujuan untuk melonggarkan cash flow perusahaan rokok. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (28/9/2023). Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Muhammad Aflah Farobi mengatakan pemberian relaksasi pembayaran cukai menjadi bentuk dukungan pemerintah untuk memberi keringanan pada para pelaku usaha barang kena cukai. “Ada kebijakan penundaan pelunasan pita cukai 90 hari sehingga kemampuan cash flow meningkat dan diharapkan kemampuan produksi meningkat,” katanya. Sesuai dengan Peraturan Dirjen Bea Cukai PER-4/BC/2023, penundaan pelunasan selama 90 hari diberikan terhadap pemesanan pita cukai yang diajukan pada 1 Maret-31 Oktober 2023. Namun, penundaan pelunasan maksimal 31 Desember 2023. Selain mengenai cukai, ada pula ulasan terkait dengan keberadaan skema prepopulated data yang dinilai sebagai salah satu indikator bagus atau tidaknya administrasi pajak. Kemudian, ada pula ulasan tentang rencana pengenaan pajak karbon. Berikut ulasan berita perpajakan selengkapnya. Penundaan Pelunasan Cukai Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis DJBC Muhammad Aflah Farobi mengatakan pemerintah terus berupaya memberikan dukungan kepada pengusaha rokok legal. Dalam kondisi ekonomi yang masih diliputi tantangan, pemerintah pun kembali memberikan relaksasi pelunasan pita cukai. Relaksasi penundaan pita cukai selama 90 hari dapat diberikan setelah kepala kantor bea dan cukai menetapkan keputusan pemberian penundaan. Relaksasi ini diberikan berdasarkan permohonan dan perhitungan pagu penundaan yang diajukan. Perhitungan pagu penundaan sebesar 4,5 kali dari rata-rata nilai cukai paling tinggi berdasarkan pemesanan pita cukai dalam kurun waktu 6 bulan terakhir atau 3 bulan terakhir. Pengusaha pabrik juga harus melakukan pembaruan jaminan berdasarkan keputusan pemberian penundaan. (DDTCNews) Skema Prepopulated Data Direktur Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak (DJP) Imam Arifin mengatakan skema prepopulated bergantung pada kualitas data yang ada. Dalam sistem self-assessment, kualitas data akan dipengaruhi interoperabilitas DJP dengan pihak lain. Imam mengatakan otoritas selalu mendorong adanya perbaikan interoperabilitas. Implementasi sistem inti administrasi perpajakan (SIAP) atau coretax administration system (CTAS), menurutnya, akan berdampak positif pada peningkatan kualitas interoperabilitas. “Makin interoperabilitas kita, data makin bagus, [sehingga] prepopulated itu makin bagus,” katanya. Simak pula ‘Makin Banyak Prepopulated Data, DJP Sebut Administrasi Pajak Bagus’. (DDTCNews) Sentralisasi Pelayanan Pajak Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan pelayanan pajak akan terus ditingkatkan. Implementasi SIAP atau CTAS akan turut memberi dampak terhadap sentralisasi pelayanan. “Diharapkan nanti pelayanan-pelayanan yang selama ini sudah digital akan coba pelahan-lahan kita centralized,” ujarnya. Dengan adanya sentralisasi pelayanan, wajib pajak bisa melakukan pendaftaran, pembayaran, dan pelaporan pajak dari mana saja. Artinya, proses bisnis tersebut bisa dilakukan tanpa terikat tempat wajib pajak terdaftar. Simak ‘Perlahan, Pelayanan Pajak DJP Bakal Tersentralisasi’. (DDTCNews) Regulasi Menyangkut Nilai Ekonomi Karbon Pemerintah masih akan menyelesaikan beragam regulasi guna mendukung penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan setidaknya terdapat 3 regulasi yang perlu diselesaikan. Ketiganya adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) tentang Penyelenggara Nationally Determined Contribution (NDC), Permen LHK tentang Perdagangan Karbon Luar Negeri, dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Pajak Karbon. “Akan kami kawal supaya tidak lari dari hasil rapat terbatas lalu,” ujar Luhut. Selain menyusun ketiga regulasi di atas, Luhut mengatakan pemerintah juga akan memperbaiki sistem registri nasional pengendalian perubahan iklim (SRN-PPI). Luhut mengatakan SRN-PPI harus terintegrasi dengan sistem di setiap sektor guna meningkatkan transparansi. (DDTCNews) Pajak Karbon Mulai 2026 Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan pajak karbon baru akan diimplementasikan pada 2026. Menurut Airlangga, pertimbangan waktu pemberlakuan ini mengingat Uni Eropa juga baru akan menerapkan carbon border adjustment mechanism (CBAM) pada 2026. “Uni Eropa akan menerapkan CBAM pada tahun 2026, 2024 mereka akan sosialisasi. Artinya industri kita harus siap untuk menjadi industri yang basis energinya hijau,” katanya. Menurut Airlangga, jika tidak ada pengenaan pajak karbon maka komoditas ekspor Indonesia akan dikenai pajak yang sejenis oleh negara lain. “Daripada dikenakan di negara lain kan mending di dalam negeri,” ujarnya. (DDTCNews) (kaw)

DJBC Sebut Cash Flow Perusahaan Rokok Bisa Longgar dengan Aturan Ini Read More »