Featured News

Setoran Pajak 2024 Ditarget Rp1.988,9 Triliun, DJP: Cukup Menantang

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati target penerimaan pajak senilai Rp1.988,87 triliun dalam UU APBN 2024, tumbuh 9,4% dari outlook penerimaan pajak 2023 sejumlah Rp1.818,2 triliun. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan DJP Ihsan Priyawibawa menilai target penerimaan pajak tersebut tergolong menantang. Meski demikian, ia menegaskan DJP berkomitmen untuk mencapai target yang telah ditetapkan. “Cukup menantang juga sebetulnya, apalagi kalau kita melihat kondisi 2023 yang pertumbuhannya di 5,9%,” katanya, dikutip pada Rabu (27/9/2023). Baca Juga: Hitung PPh Final UMKM, Omzet dari Cabang Harus Dimasukkan Bila Ada Ihsan menuturkan terdapat beberapa tantangan yang bakal dihadapi DJP dalam mengumpulkan pajak pascapandemi. Pertama, risiko berlanjutnya konflik geopolitik yang menjadi sumber ketidakpastian dalam jangka menengah-panjang. Peningkatan tensi geopolitik tersebut dinilai dapat menimbulkan fragmentasi, deglobalisasi, dan ancaman perang. Kedua, isu perubahan iklim yang perlu direspons dengan mendorong ekonomi hijau. Ketiga, digitalisasi yang dapat mempengaruhi ekonomi. Ihsan menyebut komposisi penerimaan pajak 2024 utamanya masih berasal dari pajak penghasilan (PPh). Setoran PPh diperkirakan mencapai Rp1.139,8 triliun, tumbuh 8,6% dari outlook 2023 senilai Rp1.049,5 triliun. Baca Juga: Bantu Petani, Tarif PBB Lahan Pertanian Diusulkan Hanya 0,02 Persen Kemudian, setoran PPN/PPnBM ditargetkan senilai Rp811,4 triliun, tumbuh 10,9% dari outlook 2023 senilai Rp731 triliun. Untuk pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pajak lainnya 2024, ditargetkan sama seperti outlook 2023, yaitu Rp37,7 triliun. Ihsan berharap penerimaan pajak 2024 mampu tumbuh tinggi sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan didukung kebijakan pajak yang optimal. Pertumbuhan pajak tersebut utamanya akan ditopang PPN/PPnBM yang tumbuh hingga 10,9%. “Mudah-mudahan tahun depan nanti juga, dengan apa yang kita alami tahun ini, insyaallah apa yang menjadi target kita bisa dipenuhi di 2024,” ujarnya. (rig)

Setoran Pajak 2024 Ditarget Rp1.988,9 Triliun, DJP: Cukup Menantang Read More »

DJP Bakal Tambah Jumlah WP yang Harus Laporkan Keuangan Berbasis XBRL

JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) akan memperluas uji coba atau piloting penyampaian laporan keuangan berbasis extensible business reporting language (XBRL). Direktur Transformasi Proses Bisnis DJP Imam Arifin mengatakan mayoritas wajib pajak yang ditunjuk untuk menyampaikan laporan keuangan berbasis XBRL pada 2022 adalah BUMN. Ke depan, DJP akan menunjuk wajib pajak lainnya. “Berdasarkan piloting itu, kami mencoba untuk mengimplementasikan agak lebih luas ya pada tahun ini. Jadi, kalau dulu ya, mungkin sebagian besar BUMN. Mulai tahun ini, kami coba perluas termasuk wajib pajak di luar basket itu,” katanya, Selasa (26/9/2023). Baca Juga: Hitung PPh Final UMKM, Omzet dari Cabang Harus Dimasukkan Bila Ada Menurut Imam, uji coba penyampaian laporan keuangan berbasis XBRL bakal menjadi landasan bagi DJP untuk meningkatkan kualitas pelayanan ke depan ketika coretax administration system resmi diimplementasikan. “Kalau nanti sudah pakai coretax, kemampuan kami akan makin baik. Kami sedang bangun platform baru yang datanya submitted precisely, sama dengan data di kami. Jadi, tidak miss. Tidak pakai PDF atau kertas. Kalau sama, itu tinggal integrasi data,” ujarnya. Bila sistem wajib pajak dan DJP terintegrasi, seluruh data wajib pajak juga akan terekam dalam sistem dan mempermudah petugas pajak dalam melakukan klarifikasi. Baca Juga: Bantu Petani, Tarif PBB Lahan Pertanian Diusulkan Hanya 0,02 Persen “Ke depan, hasil pertama dari pemanfaatan aplikasi ini adalah kami bisa lebih cepat memberikan warning. Ini menjadi salah satu paket dari penentuan profil wajib pajak. Kalau compliance tinggi, services kami full,” tutur Imam. Jika hasil profiling dimaksud menunjukkan wajib pajak memiliki risiko tinggi, DJP akan melakukan tindak lanjut melalui pengawasan ataupun pemeriksaan. Sebagai informasi, DJP menunjuk 37 wajib pajak untuk menyampaikan laporan keuangan berbasis XBRL seiring dengan diterbitkannya Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-159/PJ/2022. Baca Juga: DJBC Sebut Cash Flow Perusahaan Rokok Bisa Longgar dengan Aturan Ini Penyampaian laporan keuangan berbasis XBRL adalah kegiatan penyampaian laporan keuangan yang terstandar yang terdiri atas laporan posisi keuangan, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, dan laporan arus kas, serta catatan atas laporan keuangan, perhitungan rekonsiliasi fiskal, dan detail laba rugi berbasis XBRL. Sementara itu, XBRL adalah bahasa komunikasi elektronik yang secara universal digunakan untuk transmisi dan pertukaran informasi bisnis yang menyempurnakan proses persiapan, analisis, dan akurasi untuk berbagai pihak yang menyediakan dan menggunakan informasi bisnis. Cara kerja XBRL dengan memberikan tag terhadap setiap data yang ada di laporan keuangan sesuai dengan taksonomi XBRL yang digunakan. Tag ini dengan mudah dapat dibaca komputer sehingga data dapat diidentifikasi dalam bahasa apapun. Baca Juga: Penerimaan dari Denda Cukai Melonjak, DJBC: Efek Ultimum Remedium Dengan metode tersebut, pihak lain dapat dengan mudah memperoleh dan memproses data secara elektronik tanpa adanya kebutuhan untuk menerjemahkan dan meng-input ulang data. Kehadiran XBRL bakal menyamakan standar format pelaporan yang berbeda-beda. Penyeragaman ini pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan kecepatan pengolahan data serta mempercepat proses pengambilan keputusan. (rig)

DJP Bakal Tambah Jumlah WP yang Harus Laporkan Keuangan Berbasis XBRL Read More »

DJBC Sebut Cash Flow Perusahaan Rokok Bisa Longgar dengan Aturan Ini

JAKARTA, DDTCNews – Relaksasi penundaan pembayaran cukai hingga 90 hari bertujuan untuk melonggarkan cash flow perusahaan rokok. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (28/9/2023). Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Muhammad Aflah Farobi mengatakan pemberian relaksasi pembayaran cukai menjadi bentuk dukungan pemerintah untuk memberi keringanan pada para pelaku usaha barang kena cukai. “Ada kebijakan penundaan pelunasan pita cukai 90 hari sehingga kemampuan cash flow meningkat dan diharapkan kemampuan produksi meningkat,” katanya. Sesuai dengan Peraturan Dirjen Bea Cukai PER-4/BC/2023, penundaan pelunasan selama 90 hari diberikan terhadap pemesanan pita cukai yang diajukan pada 1 Maret-31 Oktober 2023. Namun, penundaan pelunasan maksimal 31 Desember 2023. Selain mengenai cukai, ada pula ulasan terkait dengan keberadaan skema prepopulated data yang dinilai sebagai salah satu indikator bagus atau tidaknya administrasi pajak. Kemudian, ada pula ulasan tentang rencana pengenaan pajak karbon. Berikut ulasan berita perpajakan selengkapnya. Penundaan Pelunasan Cukai Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis DJBC Muhammad Aflah Farobi mengatakan pemerintah terus berupaya memberikan dukungan kepada pengusaha rokok legal. Dalam kondisi ekonomi yang masih diliputi tantangan, pemerintah pun kembali memberikan relaksasi pelunasan pita cukai. Relaksasi penundaan pita cukai selama 90 hari dapat diberikan setelah kepala kantor bea dan cukai menetapkan keputusan pemberian penundaan. Relaksasi ini diberikan berdasarkan permohonan dan perhitungan pagu penundaan yang diajukan. Perhitungan pagu penundaan sebesar 4,5 kali dari rata-rata nilai cukai paling tinggi berdasarkan pemesanan pita cukai dalam kurun waktu 6 bulan terakhir atau 3 bulan terakhir. Pengusaha pabrik juga harus melakukan pembaruan jaminan berdasarkan keputusan pemberian penundaan. (DDTCNews) Skema Prepopulated Data Direktur Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak (DJP) Imam Arifin mengatakan skema prepopulated bergantung pada kualitas data yang ada. Dalam sistem self-assessment, kualitas data akan dipengaruhi interoperabilitas DJP dengan pihak lain. Imam mengatakan otoritas selalu mendorong adanya perbaikan interoperabilitas. Implementasi sistem inti administrasi perpajakan (SIAP) atau coretax administration system (CTAS), menurutnya, akan berdampak positif pada peningkatan kualitas interoperabilitas. “Makin interoperabilitas kita, data makin bagus, [sehingga] prepopulated itu makin bagus,” katanya. Simak pula ‘Makin Banyak Prepopulated Data, DJP Sebut Administrasi Pajak Bagus’. (DDTCNews) Sentralisasi Pelayanan Pajak Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan pelayanan pajak akan terus ditingkatkan. Implementasi SIAP atau CTAS akan turut memberi dampak terhadap sentralisasi pelayanan. “Diharapkan nanti pelayanan-pelayanan yang selama ini sudah digital akan coba pelahan-lahan kita centralized,” ujarnya. Dengan adanya sentralisasi pelayanan, wajib pajak bisa melakukan pendaftaran, pembayaran, dan pelaporan pajak dari mana saja. Artinya, proses bisnis tersebut bisa dilakukan tanpa terikat tempat wajib pajak terdaftar. Simak ‘Perlahan, Pelayanan Pajak DJP Bakal Tersentralisasi’. (DDTCNews) Regulasi Menyangkut Nilai Ekonomi Karbon Pemerintah masih akan menyelesaikan beragam regulasi guna mendukung penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan setidaknya terdapat 3 regulasi yang perlu diselesaikan. Ketiganya adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) tentang Penyelenggara Nationally Determined Contribution (NDC), Permen LHK tentang Perdagangan Karbon Luar Negeri, dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Pajak Karbon. “Akan kami kawal supaya tidak lari dari hasil rapat terbatas lalu,” ujar Luhut. Selain menyusun ketiga regulasi di atas, Luhut mengatakan pemerintah juga akan memperbaiki sistem registri nasional pengendalian perubahan iklim (SRN-PPI). Luhut mengatakan SRN-PPI harus terintegrasi dengan sistem di setiap sektor guna meningkatkan transparansi. (DDTCNews) Pajak Karbon Mulai 2026 Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan pajak karbon baru akan diimplementasikan pada 2026. Menurut Airlangga, pertimbangan waktu pemberlakuan ini mengingat Uni Eropa juga baru akan menerapkan carbon border adjustment mechanism (CBAM) pada 2026. “Uni Eropa akan menerapkan CBAM pada tahun 2026, 2024 mereka akan sosialisasi. Artinya industri kita harus siap untuk menjadi industri yang basis energinya hijau,” katanya. Menurut Airlangga, jika tidak ada pengenaan pajak karbon maka komoditas ekspor Indonesia akan dikenai pajak yang sejenis oleh negara lain. “Daripada dikenakan di negara lain kan mending di dalam negeri,” ujarnya. (DDTCNews) (kaw)

DJBC Sebut Cash Flow Perusahaan Rokok Bisa Longgar dengan Aturan Ini Read More »